Rabu, 09 Mei 2012

ayoooo belajar


KETENTUAN UMUM TERHADAP JUAL BELI DAN DASAR HUKUMNYA
     A.     Pendahuluan
Jual beli dalam adalah salah satu mua’amalah dalam Islam yang dihalalkan oleh Allah SWT, dengan syarat tanpa adanya unsur riba di dalam jual beli tersebut. Di dalam jual ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar jual beli tersebut tidak lari dari koredur yang ditetapkan dalam Islam.
Di dalam makalah ini, penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan jual beli menurut Islam. Penulis menyadari di dalam makalah ini, masih banyak kejanggalan-kejanggalan dan kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama penulis sendiri.

B.     Pengertian Jual Beli
Menurut etimologi, jual beli diartikan:
مقابلة الشئ بالشئ
Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu”
Adapun pengertian jual beli secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
  1. Menurut Ulama Hanafiah:
مبادلة مال بمال علي وجه مخصوص
“Pertukaran harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”
  1. Menurut Imam Nawawi dan Majmu’:
مقابلة المال بالمال تمليكا
“Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”
  1. Menurut Ibnu Qudamah, dalam kitab Al-Mugni:
مبادلة مال بمال تمليكاو تمليكا
“Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”[1]
  1. Menurut Sayyid Sabiq, mendefinisikannya dengan:
مبادلة مال بمال علي سبيل الفراض, او نفل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه.

“Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan”. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan”.
Dalam definisi diatas terdapat kata “harta”, “milik”, “dengan”, “ganti” dan “dapat dibenarkan” (al-Ma’dzun fih). Yang dimaksud harta dari definisi tersebut yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik agar dapat dibedakan dengan yang milik. Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan dengan yang dibenarkan (pemberian); sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (al-Ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.[2]
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu, atas dasar saling merelakan.

C.     Rukun Dan Syarat Jual Beli
  1. Rukun Jual Beli
Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’qud alaihi (objek akad).
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan, sebab ijab dan kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul.
Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan kabul, Rasulullah SAW bersabda:
وعن ابي هريره رضى الله عنه صَدَاقِ عن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يخترقن اثنان الاعن تراض (رواه ابو داود والترمذى).

Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda, janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai” (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
قال النبي صلى الله عليه وسلم انما البيع عن تراض. (رواه ابن ماجه).
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan”. (Riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).[3]

Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli yang menjadi suatu kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecilpun harus ijab dan kabul, tetapi menurut Iman Nawawi dan ulama muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil dengan tidak ijab dan kabul seperti membeli sebungkus rokok.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:[4]
a.       Ada orang yang berakad atau al- Muta’aqidin (penjual dan pembeli).
b.      Ada shighat (lafaz ijab dan kabul).
c.       Ada barang yang dibeli
d.      Ada nilai tukar pengganti barang.
  1. Syarat- Syarat Jual Beli
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut:[5]
a.       Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqih sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat:
1).    Berakal. Oleh karena itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus telah baligh dan berakal, apabila orang yang berakad masih mumayiz, maka jual belinya tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.
2).    Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. Misalnya, Ahmad menjual sekaligus membeli barang sendiri, maka jual belinya tidak sah.
b.      Syarat-syarat yang terkait dengan ijab kabul
Untuk itu para ulama fiqih mengemukakan bahwa syarat ijab dan kabul itu sebagai berikut:
1)        Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal, menurut jumhur ulama, atau berakal menurut ulama Hanafi’ah, sesuai dengan perbedaan mereka dalam syarat-syarat orang yang melakukan akad yang disebut diatas.
2)        Kabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: “Saya jual buku ini seharga Rp. 20. 000, lalu pembeli menjawab; “ saya beli buku ini dengan harga Rp. 20. 000,”. Apabila antara ijab dan kabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
3)        Ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama. Apabila penjual mengucapkan kabul, atau pembeli  mengerjakan aktivitas lain yang tidak terkait dengan masalah jual beli, kemudian ia ucapkan kabul, maka menurut kesepakatan ulama fiqih, jual beli ini tidak sah sekalipun mereka berpendirian bahwa ijab tidak harus dijawab langsung dengan kabul.
Dizaman modern, perwujudan ijab dan kabul tidak lagi diucapkan tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan membayar uang oleh pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan barang oleh penjual tanpa ucapan apapun. Misalnya jual beli yang berlangsung di swalayan. Dalam fiqih Islam, jual beli seperti ini disebut dengan ba’i al-Mu’athah.
Dalam kasus perwujudan ijab dan kabul melalui sikap ini (ba’i al-Mu’athah) terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqih. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh, apabila hal ini telah merupakan kebiasaan suatu masyarakat disuatu negeri, karena hal ini telah menunjukkan unsur saling rela dari kedua belah pihak.[6]



c.       Syarat-Syarat barang yang diperjual belikan (ma’dud alaih)
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjual belikan sebagai berikut :[7]
1)        Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetap pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Misalnya, disatu toko karena tidak mungkin memajang barang semuanya maka sebahagian diletakkan digudang atau masih dipabrik, tetapi secara meyakinkan barang itu boleh dihadirkan sesuai dengan persetujuan pembeli dengan penjual. Barang digudang dan dalam proses pabrik ini dihukumkan sebagai barang yang ada.
2)        Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, bangkai, khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual beli, karena dalam pandangan syara’  benda-benda seperti ini tidak bermanfaat bagi muslim.
3)        Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjual belikan, seperti memperjualbelikan ikan dilaut atau emas didalam tanah, karena ikan dan emas ini belum dimiliki penjual.
4)        Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
Dalam referensi lain disebutkan bahwa syarat-syarat benda yang menjadi  objek akad ialah sebagai berikut:[8]
1)        Suci.
2)        Memberi manfaat menurut syara’, maka dilarang memperjual belikan barang-barang yang tidak boleh diambil manfaatnya, seperti: menjual babi, anjing, cicak, kala, dan lain-lain.
3)        Jangan ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain seperti jika ayahku pergi kujual motor ini kepadamu.
4)        Tidak dibatasi waktunya. Seperti perkataan kujual motor ini kepada tuan selama satu tahun.
5)        Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat tidak sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi. Barang-barang yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh kembali karena sama seperti seekor ikan jatuh kekolam.
6)        Milik sendiri.
7)        Diketahui (dilihat).
d.      Syarat-Syarat Nilai Tukar (Hanya Barang)
Para ulama fiqih mengemukakan syarat.-Syarat al-tsaman (harga) sebagai berikut:
1)        Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2)        Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit, apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka waktu pembayarannya harus jelas..
3)         Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-Muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.[9]




D.    Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli disyari’atkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan ijma’, yakni:[10]
  1. Al-Qur’an, diantaranya:
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah: 275).
(#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4
Artinya: Dan dipersaksikanlah apabila kamu berjual beli. (Al-Baqarah: 282).

HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar